Rabu, 11 September 2019

Lima Masalah UU Persaingan Usaha Versi KPPU

Lima Permasalahan UU Kompetisi Usaha Versus KPPU

Jakarta - Komisi Pengawas Kompetisi Usaha (KPPU) mengatakan koreksi Undang-Undang Kompetisi Usaha yang sekarang tengah diulas oleh pemerintah serta DPR akan dapat menguatkan kapasitas instansi. Karena sekarang undang-undang yang lama masih mempunyai beberapa masalah yang menghalangi pengusutan masalah kompetisi usaha tidak sehat.

Permasalahan ini yang perlu dituntaskan serta wewenang KPPU diperkokoh di undang-undang yang baru, kata Ketua KPPU Kurnia Toha dalam pertemuan wartawan di Kantor Pusat KPPU, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Juli 2018.

Sekarang, pemerintah serta DPR memang tengah mengulas koreksi UU kompetisi usaha. Tingkatan paling akhir proses dari koreksi ini telah masuk penelusuran Daftar Inventarisasi Permasalahan (DIM). Proses ini berjalan lumayan panjang, sebab sempat ada saran untuk tempatkan KPPU dibawah kementerian. Walau sebenarnya, KPPU mengharap tempat mereka masih berdiri sendiri serta bertanggungjawab langsung pada presiden.

Kurnia memberikan tambahan jika persoalan pertama ada subyek hukum yang dapat dibidik KPPU. UU yang lama cuma mengatakan jika subyek hanya aktor usaha serta usaha yang bekerja di Indonesia. Walau sebenarnya di negara lain, subyek hukum dapat lebih luas sampai aktor usaha luar negeri yang mempunyai efek pada perekonomian nasional.

Walhasil, dengan ketentuan yang lama, ruangan gerak dari KPPU benar-benar terbatas. Dia mengerti ada bermacam respon, Kelak eksekusinya bagaimana? kata Kurnia. Tetapi, dia memandang bila saat subyek diperluas, karena itu pintu negosiasi serta kerja sama lain akan terbuka setelah itu.

Permasalahan ke-2 ada di pemberitahuan merger atau penyatuan usaha. Menurutnya, skema sekarang cuma membuat KPPU dapat menindai di tingkatan post-merger. Walau sebenarnya, sebagian besar negara mengaplikasikan pre-merger, atau penelusuran oleh KPPU sebelum dikerjakan merger. Jika sesudah gabung disuruh buyar, pasti cost-nya tambah tinggi, katanya.

Permasalahan ke-3 yakni masalah status Sekretariat Jenderal KPPU yang belum jelas. Sekarang, kata Kurnia, belum semua pegawai KPPU yang dengan status Perangkat Sipil Negara. Sebagian besar dari pegawai nyatanya cuma dengan status sebab kontrak.

Permasalahan ke empat yakni besaran denda optimal sebesar Rp 1 sampai Rp 2,5 miliar. Denda yang dijatuhkan KPPU menjadi alat peringatan untuk aktor usaha supaya jalankan usaha dengan sehat. Tetapi untuk usaha kelas tinggi dipandang tidak cemas sebab prosentase denda yang benar-benar kecil dibanding nilai keseluruhnya usaha serta asset.

Permasalahan paling akhir dikatakan oleh Komisioner KPPU Chandra Setiawan. Menurutnya, KPPU inginkan terdapatnya stimulan dalam pengusutan kompetisi usaha tidak sehat. Contohnya, kata Chandra, anggota kartel yang selanjutnya melapor ke KPPU jadi whistleblower atau pembocor harus memperoleh stimulan atas keberaniannya. Stimulan itu yang belum dibahas, karena itu kami akan mengatur, kata Chandra.